Ratu Tiye, Salah Satu Wanita Paling Berpengaruh di Mesir Kuno
Perempuan menjadi makhluk yang mampu melakukan berbagai hal dalam satu waktu, dari mulai bekerja, mengurus anak hingga mendukung sang suami. Keberadaan perempuan dibalik keberhasilan lelaki memang menjadi fakta nyata, seperti mantan presiden Amerika, Barrack Obama yang selalu didukung oleh Michelle Obama. Di dalam negeri ada cerita mantan presiden Indonesia, B.J. Habibie dan Ibu Ainun Habibie.
“Perempuan memegang peranan penting di dalam pencegahan konflik, manajemen konfik, dan bina damai pasca konflik. Karenanya, masyarakat internasional perlu terus mendorong penguatan peran perempuan dalam penanganan perdamaian dan keamanan internasional,” pendapat Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi menyampaikan peran perempuan.
Karakteristik perempuan hebat sangat cocok disematkan pada Ratu Tiye, seorang perempuan yang begitu berpengaruh dan berkarisma di zaman Mesir Kuno. Dia memiliki sifat yang tegas, berwibawa dan tidak takut terhadap bangsa asing lain. Sang Ratu juga membantu sang suami untuk memimpin negeri Mesir Kuno sebagai permaisuri yang agung.
Berdasarakan laman historicaleve.com, Ratu Tiye merupakan permaisuri agung Amenhotep III dalam sejarah Mesir Kuno. Ratu Tiye sering disebut dalam beberapa panggilan yaitu, Tiy, Tiya, Tiyi, Teje atau Ty. Meskipun Tiye dan Firaun Amenhotep III menikah di usia muda, mereka saling melengkapi sejak pertama bertemu dan tidak pernah terpisahkan. Tiye menikah dengan Amenhotep III yang masih berusia sebelas atau dua belas tahun pada tahun kedua masa pemerintahannya.
Pada awal pernikahan mereka, Amenhotep III mengirimkan perhiasan kecil kepada para raja untuk mengumumkan permaisuri agung pertama serta Yuya dan Tjuyu sebagai orangtuanya. Tiye dikenal sebagai ratu yang cantik jelita sehingga Amenhotep III begitu memujanya.
Tidak hanya diam menikmati kejayaan sang suami, Tiye menjadi penasihat terpercaya Amenhotep III yang bijaksana, cerdas, kuat, kejam, dan disegani oleh banyak pejabat asing. Berdasarkan bantuan sang istri, Amenhotep III pun menjadi seorang negarawan yang hebat di Mesir Kuno.
Wujud kecintaan Amenhotep III kepada istrinya diwujudkan dengan mendirikan istana, kuil di Nubia bahkan danau buatan yang monumental. Patung-patung Ratu Tiye juga selalu disejajarkan dengan patung raja. Amenhotep II memuji istrinya sebagai wanita yang anggun dan penuh dengan cinta. Yang mengisi istana dengan kecantikannya.
Dilansir dari laman worldhistory.org, pernikahan kedua pasangan muda Mesir Kuno yang dimabuk cinta tersebut menghasilkan enam orang anak yaitu dua anak laki-laki yaitu Thutmusis dan Amenhotep IV atau Akhenaten. Empat anak perempuan, yaitu Sitamen, Henuttaneb, Nebetah dan Baketaten. Mungkin juga bisa lebih banyak dari yang terdaftar dalam sejarah.
Dibalik pernikahan pasangan muda tersebut, tersirat sebuah strategi cerdas yang menguntungkan orangtua Tiye, Yuya dan Tjuyu. Sang ayah, Yuya, merupakan seorang pendeta dan pengawas lembu serta komandan kereta kuda. Sementara sang ibunda tercinta terlibat dalam berbagai kultus keagamaan dan memegang gelar ‘Kepala Penghibur’ atau ‘Penyanyi Kuil Amun’ yang menunjukkan bahwa ia adalah anggota keluarga kerajaan.
Pemerintahan Amenhotep III dan Tiye membawa Mesir menjadi negara yang kaya, sangat kuat dan mewah. Namun, ada salah satu masalah pelik pada masa pemerintahan Amenhotep III yaitu peran dewa Aten selama 39 tahun. Terjadi salah paham yang mengatakan bahwa Tiye yang memgenalkan dewa Aten ke istana, tetapi anggapan tersebut salah besar karena banyak yang menyebutkan nama dewa Aten ketika pemerintahan raja Hatshepsut atau Thutmose IV.
Aten, di bawah pemerintahan Amenhotep III dan Tiye, mendapatkan popularitas di kalangan keluarga kerajaan. Aten berusaha melawan pendeta Amun yang sangat ambisius dan kuat, sehingga membuat tahta goyah. Persaingan semakin tidak terkendali antara Amun, kebanggaan masyarakat, dan Aten, orang yang dipilih oleh pasangan kerajaan untuk melawan pengaruh para pendeta.
Sebagai seorang ratu dan ibu, Tiye menanamkan kultus Aten kepada sang putra, Amenhotep IV, untuk mengutuk kota dengan “Krisma Amarna” yang akan terjadi beberapa dekade kemudian dan akan menenggelamkan dinasti serta mengakhiri kekuasan Mesir di wilayah Suriah-Palestina. Beberapa tahun berlalu, kesedihan pun dirasakan oleh Tiye ketika sang suami, Amenhotep III meninggal pada tahun 38 atau 39 masa pemerintahannya (1353 SM) dan dimakamkan di Lembah Para Raja. Kepergian sang suami tidak menyurutkan pengaruh Tiye di Mesir.
Setelah sang suami pergi meninggalkan Tiye selamanya, Akhenaten, sang anak, pindah ke sebuah kota baru. Sementara Tiye tetap tinggal di Malkata bersama putrinya, Baketaton. Berdasarkan kejadian tersebut, banyak yang beranggapan terjadi perpecahan antara ibu dan anak. Namun, suatu ketika, Tiye mengunjungi Akhenaten, Nefertiti dan cucu-cucunya.
Mereka duduk bersama dan diterima dengan penuh rasa hormat serta kasih sayang.Ada kemungkinan bahwa Tiye menjauhkan diri dari pemujaan Aten yang telah ditanamkan pada Akhenaten karena ia terus tinggal di Thebes, dekat pendeta Amun.
Mendekati usia yang semakin menua, Tiye tetap mendukung sang anak menjalankan pemerintahan. Sampai akhirnya Tiye menemui sang pencipta.
No comments: